Jakarta, CNBC Indonesia – Situasi sekitar Laut Merah saat ini semakin mencekam di tengah gempuran pasukan Houthi dari Yaman. Ketegangan tersebut membuat dunia khawatir mengingat daerah Terusan Suez merupakan lokasi yang memiliki dampak besar bagi perdagangan dan logistik.
Sebagai informasi, Terusan Suez merupakan jalur perdagangan dunia yang adalah jalur transportasi laut yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah.
Sebelumnya, huru-hara di Laut Merah terjadi sejak serangan Israel ke Gaza, 7 Oktober 2023. Serangan itu merupakan buntut serbuan tiba-tiba Hamas di tanggal yang sama, sebagai aksi balasan penyerbuan Masjid Al-Aqsa awal 2023 dan pendudukan Palestina.
Houthi berjanji menembak semua kapal yang menuju dan terkait Israel di perairan itu sampai Tel Aviv menghentikan perangnya. Ini pun membuat Amerika Serikat (AS) dan 19 negara membentuk Operation Prosperity Guardian.
Akhir pekan lalu, koalisi ini sempat menembak dan menenggelamkan tiga kapal Houthi, saat kelompok itu melancarkan serangan baru ke kapal Maersk Hangzhou milik raksasa perkapalan Denmark, Maersk. Dilaporkan 10 pasukan Houthi tewas dalam insiden itu.
Tegangnya Situasi Sekitar Laut Merah
Lalu lintas logistik Asia-Eropa yang umumnya yang dilewati oleh kapal-kapal raksasa yakni dari Samudera Hindia, Teluk Aden, Selat Bab al-Mandab, Laut Merah, dan Terusan Suez.
Namun ketika terjadi konflik di sekitar Laut Merah, maka kapal-kapal cenderung menghindari daerah tersebut dan terpaksa untuk memutar ke Afrika Selatan via Cape of Good Hope.
Sebagai informasi, Terusan Suez menjadi sorotan global setelah sebuah kapal kargo terdampar, menghalangi perjalanan melalui salah satu rute perdagangan terpenting di dunia dari kedua arah.
Terusan Suez menjadi faktor krusial mengingati sekitar 12% perdagangan dunia melewati perairan ini, selain itu juga mewakili 30% dari seluruh lalu lintas peti kemas global, dan barang senilai lebih dari US$1 triliun per tahun.
Pada tahun 2020, sekitar 19.000 kapal memanfaatkan jalur tersebut. Ini mewakili 50 kapal per hari yang melakukan perjalanan antara Pelabuhan Suez dan Port Said, membawa kargo senilai antara US$3-9 miliar.
Bahkan menurut Suez Canal Authority (SCA), jalur air tersebut membawa lebih dari 1 miliar ton kargo pada tahun 2019, mewakili empat kali lipat tonase yang transit di Terusan Panama pada periode yang sama.
Jumlah kapal yang melintas jalur tersebut semakin bertambah setiap tahunnya. Sebagai informasi, pada tahun 2022, sebanyak 23.583 kapal menggunakan jalur ini.
Lalu Lintas Barang Terganggu
Perlu diketahui serangan Houthi di Laut Merah telah membuat hampir 10 operator pelayaran menghindari wilayah tersebut. Dikutip dari CNBC International misalnya, perusahaan pelayaran seperti Maersk, Ocean Network Express (ONE), Hapag Lloyd, dan Hyundai Merchant Marine (HMM) masih memilih untuk menghindari perairan itu.
Mereka memilih untuk memutar ke Tanjung Harapan di ujung Afrika Selatan. Ini dikhawatirkan mengganggu pasokan barang dan energi global serta membuat harga melambung tinggi.
Sejauh ini, situasi tersebut telah mempengaruhi perdagangan senilai US$225 miliar. Secara keseluruhan, perusahaan angkutan barang Kuehne+Nagel mengatakan, hal ini berdampak pada 330 kapal.
Penyedia data perdagangan global Kpler mengatakan jumlah kapal yang melakukan pemutaran via Tanjung Harapan melonjak menjadi 124 pada minggu ini dari 55 pada minggu lalu. Di sisi lain terdapat sedikit peningkatan jumlah kapal kontainer di Laut Merah, yaitu 21 kapal pada hari Selasa, naik dari 16 kapal pada tanggal 26 Desember.
Dampak Tegangnya Laut Merah
Serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah terus mendorong tarif angkutan laut lebih tinggi karena banyaknya armada dagang yang memutar menghindari perairan itu. Ini memicu peringatan akan inflasi dan tertundanya pengiriman barang.
Tingginya tarif pengiriman terjadi belakangan ini. Tarif angkutan barang dari Asia ke Eropa Utara meningkat lebih dari dua kali lipat pada minggu ini menjadi di atas US$4.000 (Rp62 juta) per unit 40 kaki.
Tarif dari Asia hingga Pantai Timur Amerika Utara juga meningkat sebesar 55% menjadi US$3.900 (Rp60 juta) per kontainer berukuran 40 kaki. Harga di Pantai Barat naik 63% menjadi lebih dari US$2.700 (Rp42 juta).
Menurut para manajer logistik, hal ini telah menciptakan badai besar dan “tsunami” dalam perdagangan global. Pasalnya, produk-produk musim semi dan panas akan tiba terlambat lantaran kapal-kapal dagang memutuskan untuk mengitari Benua Afrika alih-alih melewati Laut Merah dan Terusan Suez.
Keterlambatan tersebut terjadi mengingat kapal-kapal memutar dengan jarak yang jauh lebih jauh sekitar 70% menjadi 19.800 km dari yang sebelumnya 11.600 km.
Lebih lanjut, waktu perjalanan yang lebih lama juga dapat menunda kedatangan barang-barang musim semi. Biasanya barang diambil sebelum Tahun Baru Imlek, yang ditetapkan pada bulan Februari, ketika pabrik-pabrik tutup dan karyawan pergi berlibur.
“Tekanan rantai pasokan yang menyebabkan inflasi bersifat ‘sementara’ pada tahun 2022 mungkin akan kembali terjadi jika masalah di Laut Merah dan Samudera Hindia terus berlanjut,” kata Kepala Eksekutif Lindsey Group, Larry Lindsey, kepada CNBC International, Kamis (4/1/2023).
Inflasi negara-negara yang memiliki barang melewati jalur Terusan Suez berpotensi kembali merangkak naik.
Sebagai contoh barang-barang dari Asia termasuk Indonesia berpotensi mengalami kenaikan akibat lamanya proses distribusi logistik yang memakan bahan bakar lebih banyak.
Saat ini inflasi Indonesia memang telah melandai pada Desember 2023 ke angka 2,61% year on year/yoy. Namun bukan tidak mungkin di tengah situasi yang tidak stabil, kelangkaan berbagai barang, dan masih cukup tingginya permintaan, akan membuat inflasi kembali melonjak pada Januari 2024.
Lebih lanjut, situasi kampanye dan politik yang sangat erat kaitannya dengan tingginya konsumsi masyarakat akan berpotensi semakin mengerek inflasi Consumer Price Index (CPI). https://yangterbaik.com/